Pemilu Berintegritas, Mungkinkah?

Posted on July 8, 2014

0


Pemilihan presiden dan wakil presiden langsung merupakan hajatan kali ketiga dalam lima belas tahun terakhir yang dihelat oleh negara ini. Menurut Schumpeter (1975), pemilihan umum merupakan salah satu prosedur terpenting untuk melegitimasi kekuasaan di dalam sebuah sistem demokrasi. Bahkan demokrasi selalu diidentikkan dengan pemilu. Dalam hal ini sejak tahun 1999 maka pemilu menjadi alat legitimasi untuk perjalanan demokrasi di Indonesia. Lalu apakah pemilu hanya dipandang sebagai rutinitas demokrasi?

Demokrasi pascareformasi memberikan banyak sekali catatan dalam hal prasyarat untuk terbukanya sebuah kanal kebebasan sipil. Dimana pengalaman 32 tahun di masa Orde Baru telah terbukti bahwa penyelenggaraan pemilu hanya sebatas kegiatan rutin lima tahunan, dimana legitimasi hanya dipergunakan untuk kepentingan dan selera penguasa waktu itu. Bunte (2009) menyatakan bahwa terlaksananya pemilu adalah prasyarat paling minimalis dari prosedur demokrasi atau sebagai konsep inti dari demokrasi. Jadi Orde Baru-pun juga sudah melaksanakan “demokrasi”, menurut prasyarat minimalis tersebut.

Artinya disini bahwa pemilu sebenarnya bukanlah sebuah kegiatan rutin yang diadakan untuk mencapai prasyarat demokrasi. Sebab ukuran demokrasi bukan saja ditentukan oleh rutinitas pemilu namun juga ditentukan oleh kualitas dari pemilu itu sendiri. Pemilu berkualitas setidaknya mensyaratkan adanya akuntabilitas, kompetensi dan etika. Atau jika meminjam istilah Galtung dan Pope (2008) maka “yang berkualitas” ini disebut sebagai “integritas”. Selain itu pemilu dipandang berkualitas jika semua pihak yang turut serta dalam kontestasi ini menerima hasil pemilu secara bulat dan kemudian juga mengikat semua pihak tersebut. Untuk dapat diterima secara bulat, hasil pemilu selain harus memenuhi persyaratan jujur dan adil secara administratif, juga harus memenuhi kriteria integritas. Integritas pemilu, selain dapat diukur dari integritas lembaga penyelenggara pemilu, juga terkait integritas para pihak termasuk peserta pemilu.

 

Pemilu Berintegritas Versus Transaksional

Integritas sebuah pemilu, mengacu pada ukuran integritas para pihak peserta pemilu dapat ditera dalam melakukan kajian dan bacaan terhadap visi dan misi para capres dan cawapres yang sedang berkontestasi. Secara sederhana maka perlu dibandingkan visi dan misi dari para kontestan dengan indikator-indikator yang sejalan dengan syarat integritas. Adapun syarat integritas yang biasa digunakan untuk menilai antara lain: rumusan atau cara pandang masalah bangsa/negara dan agenda kerja yang terukur dan terencana; komitmen terhadap proses demokrasi dan pelembagaannya; dan jaminan terhadap tata pemerintahan yang baik dan kebebasan sipil seperti diatur dalam kovenan-kovenan dan tata perundangan secara konsisten. Ketiga indikator tersebut dengan mudah digunakan untuk menganalisis sejauh mana visi dan misi kandidat dalam menjawab tantangan sebuah pemilu yang integritas.

Pemilu yang diidentikkan dengan demokrasi tentu tidak mungkin terlepas dari kontestasi diantara para pesertanya. Przeworski (1991) menjelaskan bahwa pemilu sesungguhnya bukanlah ajang partisipasi warga masyarakat, namun lebih kepada ajang kompetisi para peserta pemilu (partai politik dan elit penguasa parpol), dimana para peserta pemilu akan berusaha untuk mengungguli peserta lain, baik dalam menarik simpati konstituen hingga meraup jumlah suara serta dukungan kepada kekuasaan yang diperolehnya.

Berdasarkan atas pernyataan Przeworski tersebut maka maraknya politik uang menjadi terkonfirmasi. Dimana para konstestan berlomba-lomba untuk meraih kekuasaan dengan segala cara, termasuk politik uang. Menurut Roth (2007) politik uang adalah jebakan bagi kandidat dalam memenangkan pemilu. Praktek politik uang tetap dilakukan meskipun dari berbagai hasil survei dan penelitian menyebutkan bahwa praktek ini tidak efektif dan tidak signifikan dalam peroleh suara. Sebab perilaku politik menunjukan masyarakat yang semakin cerdas dan dewasa mengambil keputusan politik di dalam pemilu didasarkan pada kondisi kesadaran yang lebih rasional.

Politik uang yang merupakan bagian dari korupsi pemilu menyebabkan pemilu menjadi tidak legitimate. Sebab hal inilah yang menjadi penyebab bagi politik berbiaya tinggi. Sebab terjadi perubahan paradigma dari sesuatu yang bersifat mandatory menjadi sesuatu yang bersifat transaksional. Sehingga mandat konstituen yang sangat politis berubah orientasinya menjadi bentuk paling pragmatis, yakni transaksi kepentingan. Duschinsky (2004) di dalam risetnya terkait pengaruh uang di dalam politik mampu memetakan bagaimana uang telah berperan di dalam politik sejak proses pencalonan kandidat hingga persoalan korupsi politik pascapemilu. Lalu bagaimana dengan pemilu berintegritas?

Syed Hussein Alatas (1980) mengkategorikan korupsi dalam bentuk sumbangan politik masuk dalam kategori investive corruption yang meniscayakan korupsi yang transaksinya terjadi hari ini tapi keuntungan dari transaksi korupsinya dapat dirasakan di masa mendatang. Artinya dalam rantai korupsi pemilu, transaksi merupakan investasi kepentingan pada penguasa kedepannya. Tentu hal ini sangat membahayakan perjalanan demokrasi. Dimana disaat demokrasi mensyaratkan dari, oleh dan untuk rakyat berubah menjadi transaksi-transaksi elit atau kepentingan oligarki belaka.

 

Memutus Rantai Korupsi dan Model Pemilu Berintegritas

Tentu saja pola transaksional antar elit dalam pemilu (termasuk pilpres) menjadi tantangan bagi konstituen. Sebab suara rakyat adalah mandat yang sesungguhnya dan demokrasi mensyaratkan hal tersebut. Memutus rantai korupsi pemilu dapat dilakukan sengan menggunakan strategi pencegahan. Dimana pendekatan kepada pemilih rasional diterapkan untuk mencegah transaksi merugikan. Pemborosan dapat dilakukan dengan merubah strategi kampanye kandidat dan menonjolkan aspek-aspek integritas dengan suatu model kampanye kandidat berintegritas.

Sebagai contoh Survey Persepsi Masyarakat terhadap Integritas Pemilu yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2013 menghasilkan beberapa catatan penting dari sisi pengetahuan dan kesadaran akan pemilu yang berintegritas. Sejumlah 71% responden paham bahwa praktik politik uang dalam pemilu merupakan hal yang umum terjadi di Indonesia. Bahkan nyaris seluruh responden (92.70%) menyatakan bahwa pemimpin dan politisi yang tersangkut kasus korupsi merupakan hal yang umum terjadi di Indonesia. Informasi lain seperti Global Corruption Barrometer 2013 yang dikeluarkan oleh Transparency International mengafirmasi dengan menyebutkan bahwa partai politik dan parlemen, sebagai salah satu institusi demokrasi merupakan lembaga yang sarat dengan korupsi, menurut persepsi masyarakat.

Menilik data-data diatas maka peluang untuk memperbaiki demokrasi lewat pemilu berintegritas merupakan hal yang darurat untuk segera dilakukan di Indonesia. Model pemilu berintegritas bisa menggunakan dua pendekatan utama. Pendekatan pertama adalah pendekatan model kandidat dan kampanye berintegritas, dimana setiap kontestan dan kandidat dipaksa untuk tidak melakukan praktek pemborosan keuangan kampanye dan melakukan politik uang. Model kandidat berintegritas adalah perpaduan dari komitmen kandidat, penerapan metode komunikasi politik yang efektif dan pelibatan partisipasi masyarakat yang luas.

Sedangkan pendekatan kedua adalah model akuntabilitas politik. Dimana upaya membangun konstituensi di satu sisi dan perikatan tali mandat antara kandidat dengan pemilih/konstituen dibangun melalui kekuatan kontrol publik yang kuat. Dengan demikian konstituen dapat dengan mudah menggunakan jalinan ikatan yang terbentuk pada saat pemilu untuk menuntut representasi kandidat yang telah menduduki kekuasaan politiknya.

Gagasan akuntabilitas politik adalah prasyarat dasar dalam membangun demokrasi. Masyarakat dalam hal ini konstituen dijamin hak-haknya tidak hanya sebagai obyek tindakan dan keputusan politik, melainkan juga sebagai subyek yang berhak untuk menuntut tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan janji-janji politik yang dilaksanakan oleh para kandidat.

Posted in: Opini