Melawan Iblis Mephistopheles : Bunga Rampai Tinjauan Kritis Anti-PLTN-Fissi

Posted on April 18, 2008

14


Judul buku : Melawan Iblis Mephistopheles : Bunga Rampai Tinjauan Kritis Anti-PLTN-Fissi.

Penulis : Liek Wilardjo, Frans Magniz-Suseno, Arief Budiman, Budi Widianarko, Karlina Supelli, Iwan Kurniawan, Heru Nugroho, P.M. Laksono, Fabby Tumiwa, Venatius Hadiyono, Lilo Sunaryo, Zaenul Adzvar, Mustofa Bisri.

Penyunting : Nick T. Wiratmoko.

Penerbit : LISTHIA – Marem – Pustaka Percik.

Dari nyangkruk ke menerbitkan buku. Demikianlah mungkin apresiasi dari buku ini. Dalam cover yang dikartunisasi oleh Koesnan Hoesie ini menyiratkan gambaran kelam keberadaan PLTN di muka bumi. Gambar cover memang pas dengan judul besarnya. Artinya sangat provokatif dan sedikit hiperbolik.

Jika Nick T. Wiratmoko dalam pengantar editorialnya mengatakan bahwa buku ini adalah publikasi dari sebuah seminar, maka tidaklah mengherankan bahwa pada dasarnya buku ini merupakan dokumentasi dari acara seminar bertajuk “Tinjauan Kritis Pembangunan PLTN di Indonesia”, yang dilaksanakan di Kampoeng Percik, Salatiga pada tanggal 25 Mei 2007. Dalam pengantar editorial dinyatakan bahwa tujuan dari penerbitan buku ini adalah sebagai “sparing partner” atas monopoli informasi wacana pembangunan PLTN di Indonesia (Muria khususnya) yang dilakukan sepihak oleh negara, dalam hal ini BATAN dan Kementerian Ristek dan Kementerian ESDM. Sehingga diperlukan imbangan informasi dari pemerhati energi.

Dalam nada dasarnya, Arief Budiman berpesan bahwa perlunya membangun kultur perbedaan dengan masing-masing kubu (pro dan kontra) untuk membuat argumentasinya, sehingga keseimbangan informasi bisa tercapai. Walaupun nada dasar dari Arief Budiman terkesan jauh dari tujuan penerbitan buku ini namun perlu diluruskan bahwa sebenarnya arena nyangkruk ini sedari awal sadar bahwa ruang Pro-PLTN selalu menjadi rujukan untuk dicari sisi pemikiran kritisnya, yang biasanya dikelompokkan sebagai Anti-PLTN.

Struktur buku ini dipilah dalam tiga bagian besar, dimana bagian pertama dan kedua berisi pemaparan makalah para kontributor dan disambung dengan sesi tanya-jawab. Sedangkan untuk bagian ketiga berisi dokumentasi aktivitas penolakan PLTN di Muria dalam bentuk foto.

Bagian pertama buku ini digawangi oleh penulis-penulis yang berpengalaman dibidangnya, seperti Iwan Kurniawan, Budi Widianarko, Fabby Tumiwa, Heru Nugroho, Venatius Hadiyono, P.M. Laksono.

Bagian pertama ini memaparkan tulisan Iwan Kurniawan tentang teknologi nuklir dan PLTN dari generasi ke generasi juga disertai data dan skema gambar reaktor PLTN. Budi Widianarko memaparkan dari aspek lingkungan, yakni informasi tentang dampak dan resiko dari PLTN yang cenderung diredusir oleh kelompok Pro-PLTN sehingga prinsip transparansi dan proporsionalitas informasi mutlak diperlukan dalam pengambilan keputusan dan juga perlunya pertimbangan partisipasi masyarakat dalam kewargaan teknologi (Technological Citizenship). Dari aspek kebijakan energi, Fabby Tumiwa menjelaskan tentang KEN dan dinamika wacana pembangunan PLTN. Dari sisi sosial politik, Heru Nugroho mengupas tentang lemahnya posisi tawar negara (Indonesia) dihadapan rezim energi global jika pilihan PLTN dijadikan sebagai pilihan energi nasional. Makalah Venatius Hadiyono memaparkan bahwa prinsip demokrasi dan good governance mutlak diperlukan dalam pengambilan keputusan penetuan kebijakan pembangunan PLTN. Dari aspek antropologi, P.M. Laksono menegaskan bahwa antusiasme Negara dalam mempromosikan PLTN harus dibayar dengan mereduksi banyak permasalahan antara lain demokratisasi, bahkan positioning Negara melawan rakyat dijadikan argumen untuk menolak PLTN. Bagian pertama ini diakhiri dengan ringkasan tanya-jawab hasil dokumentasi seminar yang menampilkan para pemakalah.

Bagian kedua buku ini mencakup tulisan tentang tinjauan PLTN dari aspek etika teknologi, politik kenyamanan, kesiapan budaya, dampak sosial, dan etika sosial. Dari aspek etika teknologi, Liek Wilardjo menulis tentang etika dan moralitas pemilihan PLTN dalam pemanfaatan nuklir. Tulisan ini juga mencakup tentang pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis PLTN dan disertakan juga analogi cerita legenda Faust.

Dari aspek politik kenyamanan, Karlina Supelli meletakkan energi nuklir sebagai produk bermuka dua, yakni azas kemanfaatan dan kemudharatan. Dalam tulisan ini juga dipaparkan bahwa seharusnya teknologi berjalan berdampingan dengan kearifan masyarakat lokal yang terkait erat dengan struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik. Frans Magniz-Suseno dengan pedas menyatakan bahwa dalam aspek budaya, SDM Indonesia saat ini belum cukup kuat untuk membangun PLTN, mengingat budaya korupsi dan budaya disiplin di Indonesia saat ini selalu menjadi sorotan. Dari aspek dampak sosial, Lilo Sunaryo memaparkan bahwa argumentasi krisis energi yang disampaikan oleh negara tidak relevan jika dijawab dengan pembangunan PLTN di Jepara. Menurut pemakalah, rakyat Jepara dan sekitarnya merasa gundah jika PLTN (nantinya) jadi dibangun, mengingat saat ini sudah ada PLTU yang juga menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Dari aspek etika sosial, Zainul Adzvar menjelaskan tentang kuasa atas modal dan pengambilan keputusan oleh negara dalam kaitannya dengan rencana PLTN telah meletakkan nuklir sebagai proses ideologisasi.

Dalam buku ini juga ditegaskan bahwa Anti-PLTN-Fissi bukan berarti Anti-nuklir, bahkan PLTN-Fissi pun kalau kelak terbukti aman dan handal dan SDM-nya siap maka bukan tidak mungkin akan diterima dan selanjutnya dikembangkan bagi kemajuan teknologi dan peradaban manusia.

Buku yang terkesan provokatif ini juga meletakkan asumsi resisten yang diharapkan tidak hanya terjebak dalam gerakan protes berupa radikalisasi massa dengan orientasi ekologi dangkal (NIMBY = Not In My Back Yard), namun juga perlu mengembangkan alternatif gerakan Anti-PLTN-Fissi yang mempunyai paradigma pembangunan masyarakat teknologi yang demokratis.

Buku ini telah dibedah di STF Driyakara-Jakarta, Unika Soegijopranoto Semarang, UGM Yogyakarta.

Selamat Membaca.

(Wawan H. Suyatmiko – Penulis).

Posted in: Resensi