Judul buku : Melawan Iblis Mephistopheles : Bunga Rampai Tinjauan Kritis Anti-PLTN-Fissi.
Penulis : Liek Wilardjo, Frans Magniz-Suseno, Arief Budiman, Budi Widianarko, Karlina Supelli, Iwan Kurniawan, Heru Nugroho, P.M. Laksono, Fabby Tumiwa, Venatius Hadiyono, Lilo Sunaryo, Zaenul Adzvar, Mustofa Bisri.
Penyunting : Nick T. Wiratmoko.
Penerbit : LISTHIA – Marem – Pustaka Percik.
Dari nyangkruk ke menerbitkan buku. Demikianlah mungkin apresiasi dari buku ini. Dalam cover yang dikartunisasi oleh Koesnan Hoesie ini menyiratkan gambaran kelam keberadaan PLTN di muka bumi. Gambar cover memang pas dengan judul besarnya. Artinya sangat provokatif dan sedikit hiperbolik.
Jika Nick T. Wiratmoko dalam pengantar editorialnya mengatakan bahwa buku ini adalah publikasi dari sebuah seminar, maka tidaklah mengherankan bahwa pada dasarnya buku ini merupakan dokumentasi dari acara seminar bertajuk “Tinjauan Kritis Pembangunan PLTN di Indonesia”, yang dilaksanakan di Kampoeng Percik, Salatiga pada tanggal 25 Mei 2007. Dalam pengantar editorial dinyatakan bahwa tujuan dari penerbitan buku ini adalah sebagai “sparing partner” atas monopoli informasi wacana pembangunan PLTN di Indonesia (Muria khususnya) yang dilakukan sepihak oleh negara, dalam hal ini BATAN dan Kementerian Ristek dan Kementerian ESDM. Sehingga diperlukan imbangan informasi dari pemerhati energi.
Dalam nada dasarnya, Arief Budiman berpesan bahwa perlunya membangun kultur perbedaan dengan masing-masing kubu (pro dan kontra) untuk membuat argumentasinya, sehingga keseimbangan informasi bisa tercapai. Walaupun nada dasar dari Arief Budiman terkesan jauh dari tujuan penerbitan buku ini namun perlu diluruskan bahwa sebenarnya arena nyangkruk ini sedari awal sadar bahwa ruang Pro-PLTN selalu menjadi rujukan untuk dicari sisi pemikiran kritisnya, yang biasanya dikelompokkan sebagai Anti-PLTN.
Struktur buku ini dipilah dalam tiga bagian besar, dimana bagian pertama dan kedua berisi pemaparan makalah para kontributor dan disambung dengan sesi tanya-jawab. Sedangkan untuk bagian ketiga berisi dokumentasi aktivitas penolakan PLTN di Muria dalam bentuk foto.
Bagian pertama buku ini digawangi oleh penulis-penulis yang berpengalaman dibidangnya, seperti Iwan Kurniawan, Budi Widianarko, Fabby Tumiwa, Heru Nugroho, Venatius Hadiyono, P.M. Laksono.
Bagian pertama ini memaparkan tulisan Iwan Kurniawan tentang teknologi nuklir dan PLTN dari generasi ke generasi juga disertai data dan skema gambar reaktor PLTN. Budi Widianarko memaparkan dari aspek lingkungan, yakni informasi tentang dampak dan resiko dari PLTN yang cenderung diredusir oleh kelompok Pro-PLTN sehingga prinsip transparansi dan proporsionalitas informasi mutlak diperlukan dalam pengambilan keputusan dan juga perlunya pertimbangan partisipasi masyarakat dalam kewargaan teknologi (Technological Citizenship). Dari aspek kebijakan energi, Fabby Tumiwa menjelaskan tentang KEN dan dinamika wacana pembangunan PLTN. Dari sisi sosial politik, Heru Nugroho mengupas tentang lemahnya posisi tawar negara (Indonesia) dihadapan rezim energi global jika pilihan PLTN dijadikan sebagai pilihan energi nasional. Makalah Venatius Hadiyono memaparkan bahwa prinsip demokrasi dan good governance mutlak diperlukan dalam pengambilan keputusan penetuan kebijakan pembangunan PLTN. Dari aspek antropologi, P.M. Laksono menegaskan bahwa antusiasme Negara dalam mempromosikan PLTN harus dibayar dengan mereduksi banyak permasalahan antara lain demokratisasi, bahkan positioning Negara melawan rakyat dijadikan argumen untuk menolak PLTN. Bagian pertama ini diakhiri dengan ringkasan tanya-jawab hasil dokumentasi seminar yang menampilkan para pemakalah.
Bagian kedua buku ini mencakup tulisan tentang tinjauan PLTN dari aspek etika teknologi, politik kenyamanan, kesiapan budaya, dampak sosial, dan etika sosial. Dari aspek etika teknologi, Liek Wilardjo menulis tentang etika dan moralitas pemilihan PLTN dalam pemanfaatan nuklir. Tulisan ini juga mencakup tentang pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis PLTN dan disertakan juga analogi cerita legenda Faust.
Dari aspek politik kenyamanan, Karlina Supelli meletakkan energi nuklir sebagai produk bermuka dua, yakni azas kemanfaatan dan kemudharatan. Dalam tulisan ini juga dipaparkan bahwa seharusnya teknologi berjalan berdampingan dengan kearifan masyarakat lokal yang terkait erat dengan struktur sosial, budaya, ekonomi dan politik. Frans Magniz-Suseno dengan pedas menyatakan bahwa dalam aspek budaya, SDM Indonesia saat ini belum cukup kuat untuk membangun PLTN, mengingat budaya korupsi dan budaya disiplin di Indonesia saat ini selalu menjadi sorotan. Dari aspek dampak sosial, Lilo Sunaryo memaparkan bahwa argumentasi krisis energi yang disampaikan oleh negara tidak relevan jika dijawab dengan pembangunan PLTN di Jepara. Menurut pemakalah, rakyat Jepara dan sekitarnya merasa gundah jika PLTN (nantinya) jadi dibangun, mengingat saat ini sudah ada PLTU yang juga menimbulkan masalah sosial dan lingkungan. Dari aspek etika sosial, Zainul Adzvar menjelaskan tentang kuasa atas modal dan pengambilan keputusan oleh negara dalam kaitannya dengan rencana PLTN telah meletakkan nuklir sebagai proses ideologisasi.
Dalam buku ini juga ditegaskan bahwa Anti-PLTN-Fissi bukan berarti Anti-nuklir, bahkan PLTN-Fissi pun kalau kelak terbukti aman dan handal dan SDM-nya siap maka bukan tidak mungkin akan diterima dan selanjutnya dikembangkan bagi kemajuan teknologi dan peradaban manusia.
Buku yang terkesan provokatif ini juga meletakkan asumsi resisten yang diharapkan tidak hanya terjebak dalam gerakan protes berupa radikalisasi massa dengan orientasi ekologi dangkal (NIMBY = Not In My Back Yard), namun juga perlu mengembangkan alternatif gerakan Anti-PLTN-Fissi yang mempunyai paradigma pembangunan masyarakat teknologi yang demokratis.
Buku ini telah dibedah di STF Driyakara-Jakarta, Unika Soegijopranoto Semarang, UGM Yogyakarta.
Selamat Membaca.
(Wawan H. Suyatmiko – Penulis).
Febri
April 29, 2008
Mas wawan yg tampan, aq jg lg buat resensi buku ini… hehehe
Informasi saja, klo buku ini tidak jadi dibedah di STF Driyarkara.
Btw, kemana aja, aq lama tdk melihatmu….
Febri-kecel
lawankata
April 29, 2008
> Febri : Thanx atas infox..
Sebenarnya aku pengin membedah buku ini plus buku karya BATAN yang sudah beredar di kawasan Muria setebal 25 halaman itu, namun apa lacur, susah sekali aku mendapatkan buku BATAN itu.
Jadi konsepnya adalah mempersandingkan buku ini dengan buku versi BATAN..
Btw juga, aku ga kemana-mana, cuma jarang memperlihatkan diriku yang tampan ini aja.
OK selamat membuat resensi juga.
bintagraya
April 30, 2008
semangat nulis n membaca ya prand….
maish gerah ama yang namanya PLTN??
ViDea
May 2, 2008
wHuaaa maS waWan…,
bLogwaLking niY..,
eeeH terDampaR dibLogMu..,
hwEhehehehe ^_~
lawankata
May 28, 2008
> Bintangraya : Thanx bro atas penyemangatnya..Kalo dibilang gerah sih enggak cuma risih aja, kalo “barang” yang rigid terus dipertahankan pewacanaannya tanpa melihat dan mendengar subyek pembangunan ini.
> ViDea : Selamat terdampar-ria, semoga menemukan pelabuhan yang lebih masyhur dari “pulau gersang nan kering” bertajuk BATJATOELIS.
Vagina
June 19, 2008
Somehow i missed the point. Probably lost in translation 🙂 Anyway … nice blog to visit.
cheers, Vagina!!
wawan h. suyatmiko
June 27, 2008
Thanx for u’r attention in my weblog..hope u enjoy to read my journals..can i help u if you missed the point (somehow)??
widi
October 19, 2008
Mas wawan, buku karya BATAN yang sudah beredar di kawasan Muria setebal 25 halaman itu udah dapet belum ? kebetulan ni, aku lagi penelitian buat tugas akhir. temanya sih soal “partisipasi masyarakat dalam pembangunan PLTN Muria”.makasih.
wawan h.suyatmiko
October 23, 2008
@ dik Widi : Kebetulan aku belum dapat buku propaganda dari BATAN..Tapi kalo kamu mau ya terjun langsung aja ke Lemahabang, Jepara..sekalian penelitian sekalian PRA,,gimana ??
Teman
January 29, 2009
Cah bagus…, orang Cina yang lebih pintar dari orang Indonesia saja mau PLTN. Kok kita yang kalah pintar tidak mau PLTN?.
Di Serpong sudah ada PLTN dengan core siap untuk PLTN jenis PWR. Jadi, kalo sekarang menolak PLTN, seperti bangun kesiangan… :). Ini urun pendapat lo mas…
keceng
January 15, 2010
cah ganteng di Serpong dan Jogja bukan PLTN tetapi reaktor riset yang jauh berbeda dengan PLTN..
silakan cari info yang bener ya..
batjatoelis
February 6, 2009
# Teman :
Terima kasih atas urun pendapatnya..
Tulisan saya diatas juga bentuk urun pendapat..
Jadi impas….
Sekedar info : PLTN Serpong dan Jogja dibangun hanya pada skala riset dan bukan untuk kepentingan komersil, sehingga produktivitas energi dan suplai bahan bakarnya juga skala laboratorium…
Jika disimak lebih lanjut, pesan dari buku ini juga fokus menolak PLTN-Fissi dan mendorong untuk diteliti mendalam dengan model Fussi atau mendingan kembali ke energi terbarukan..
Sebagai urun pendapat, mungkin #Teman perlu membaca buku tersebut….
Suwun….
HA
November 6, 2014
Mas Wawan, mohon informasi dimana bisa memperoleh nuku di atas?
lawankata
November 17, 2014
Sepertinya sekarang sudah hilang dari peredaran. Tapi coba saja menghubungi Percik Salatiga, siapa tau di Perpustakaan Percik masih ada.